Kompos, pengomposan dan faktor yang mempengaruhinya




Kompos dan Proses Pengomposan

Kompos merupakan jenis pupuk yang berasal dari hasil akhir penguraian sisa-sisa hewan maupun tumbuhan yang berfungsi sebagai penyuplai unsur hara tanah sehingga dapat digunakan untuk memperbaiki tanah secara fisik, kimiawi, maupun biologis (Sutanto, 2002). Secara fisik, kompos mampu menstabilkan agregat tanah, memperbaiki aerasi dan drainase tanah, serta mampu meningkatkan kemampuan tanah menahan air. Secara kimiawi, kompos dapat meningkatkan unsur hara tanah makro maupun mikro dan meningkatkan efisiensi pengambilan unsur hara tanah. Sedangkan secara biologis, kompos dapat menjadi sumber energi bagi mikroorganisme tanah yang mampu melepaskan hara bagi tanaman. 

Kompos dapat dibuat dari berbagai bahan organik yang berasal dari limbah hasil pertanian dan non pertanian (Harizena, 2012). Limbah hasil pertanian yang dapat dijadikan sebagai kompos antara lain berupa jerami, dedak padi, kulit kacang tanah, dan ampas tebu. Sedangkan, limbah hasil non pertanian yang dapat diolah menjadi kompos berasal dari sampah organik yang dikumpulkan dari pasar maupun sampah rumah tangga. Bahan-bahan organik tersebut selanjutnya mengalami proses pengomposan dengan bantuan mikroorganisme pengurai sehingga dapat dimanfaatkan secara optimal ke lahan pertanian. Pada lingkungan terbuka, proses pengomposan dapat berlangsung secara alami. Melalui proses pengomposan secara alami, bahan-bahan organik tersebut dalam waktu yang lama akan membusuk karena adanya kerja sama antara mikroorganisme dengan cuaca. Proses tersebut dapat dipercepat dengan menambahkan mikroorganisme pengurai sehingga dalam waktu singkat akan diperoleh kompos yang berkualitas baik (Widarti et al., 2015). 

Pengomposan merupakan proses perombakan (dekomposisi) bahan organik oleh mikroorganisme dalam keadaan lingkungan yang terkontrol dengan hasil akhir berupa humus dan kompos (Murbandono, 2008). Pengomposan bertujuan untuk mengaktifkan kegiatan mikroba agar mampu mempercepat proses dekomposisi bahan organik. Selain itu, pengomposan juga digunakan untuk menurunkan nisbah C/N bahan organik agar menjadi sama dengan nisbah C/N tanah (10-12) sehingga dapat diserap dengan mudah oleh tanaman. Agar proses pengomposan berlangsung optimum, maka kondisi saat proses harus dikontrol. 

Berdasarkan ketersediaan oksigen bebas, mekanisme proses pengomposan dibagi menjadi 2, yaitu pengomposan secara aerobik dan anaerobik. Pengomposan secara aerobik merupakan proses pengomposan yang memerlukan ketersediaan oksigen. Oksigen diperlukan oleh mikroorganisme untuk merombak bahan organik selama proses pengomposan berlangsung. Sedangkan pengomposan secara anaerobik merupakan proses pengomposan yang tidak memerlukan ketersediaan oksigen, namun hanya memerlukan tambahan panas dari luar (Sutanto, 2002). 

Kualitas kompos ditentukan oleh tingkat kematangan kompos seperti : warna, tekstur, bau, suhu, pH, serta kualitas bahan organik kompos. Bahan organik yang tidak terdekomposisi secara sempurna akan menimbulkan efek yang merugikan bagi pertumbuhan tanaman. Penambahan kompos yang belum matang ke dalam tanah dapat menyebabkan terjadinya persaingan penyerapan bahan nutrient antara tanaman dan mikroorganisme tanah. Menurut Sutanto (2002), keadaan tersebut dapat mengakibatkan terganggunya pertumbuhan tanaman. Kompos yang berkualitas baik diperoleh dari bahan baku yang bermutu baik. Kompos yang berkualitas baik secara visual dicirikan dengan warna yang cokelat kehitaman menyerupai tanah, bertekstur remah, dan tidak menimbulkan bau busuk. 

Beragamnya bahan baku serta teknik pembuatan kompos tentunya sangat berpengaruh terhadap kualitas serta kandungan kompos yang dihasilkan. Agar kompos yang dihasilkan mempunyai kualitas baik, maka diperlukan adanya standar yang digunakan sebagai acuan, salah satunya adalah SNI 19-7030-2004 tentang spesifikasi kompos. Berikut disajikan tabel tentang spesifikasi kompos berdasarkan SNI 19-7030-2004.

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Proses Pengomposan
Rasio C/N

Rasio C/N merupakan perbandingan dari unsur karbon (C) dengan nitrogen (N) yang berkaitan dengan metabolisme mikroorganisme pengurai dalam proses pengomposan. Selama proses pengomposan, mikroorganisme pengurai membutuhkan karbon (C) sebagai sumber energi dan nitrogen (N) sebagai zat pembentuk sel mikroorgnasime. Jika rasio C/N tinggi, maka aktivitas mikroorganisme pengurai akan berjalan lambat untuk mendekomposisi bahan organik kompos sehingga waktu pengomposan menjadi lebih lama. Sedangkan apabila rasio C/N rendah, maka nitrogen yang merupakan komponen penting pada kompos akan dibebaskan menjadi ammonia dan menimbulkan bau busuk pada kompos (Djuarnani, 2005). 

Ukuran Bahan 

Ukuran bahan baku kompos berpengaruh terhadap proses pengomposan, sebab ukuran partikel menentukan besarnya ruang antar bahan (porositas). Menurut Yuwono (2006), ukuran bahan yang baik digunakan untuk proses pengomposan adalah 5-10 cm. Bahan kompos yang berukuran kecil akan cepat didekomposisi oleh mikroorganisme pengurai sehingga proses pengomposan berjalan lebih cepat. 

Mikroorganisme Pengurai 

Pada proses pengomposan, mikroorganisme pengurai membutuhkan karbon (C) serta nitrogen (N) untuk metabolismenya. Unsur karbon digunakan sebagai sumber tenaga oleh mikroorganisme dalam mendekomposisi bahan-bahan organik kompos, sedangkan unsur nitrogen digunakan sebagai sumber makanan serta nutrisi untuk pertumbuhan. Menurut Djuarnani (2005), mikroorganisme pengurai mempunyai beberapa fungsi selama proses pengomposan berlangsung. Berdasarkan fungsinya, mikroorganisme mesofilik yang hidup pada suhu rendah (25-45oC) berfungsi untuk merombak bahan-bahan kompos menjadi ukuran yang lebih kecil sehingga mempercepat proses pengomposan. Sedangkan mikroorganisme termofilik yang hidup pada suhu tinggi (45-65oC) berfungsi untuk mengonsumsi karbohidrat dan protein sehingga bahan kompos dapat terdekomposisi dengan cepat. 

Derajat Keasaman (pH) 

Derajat keasaman (pH) dalam tumpukan kompos berpengaruh terhadap aktivitas mikroorganisme pengurai. Kisaran pH yang optimum pada proses pengomposan aerob adalah 6,0-8,0. Jika nilai pH terlalu tinggi (basa) akan menyebabkan nitrogen dalam tumpukan kompos hilang akibat proses volatilisasi (perubahan menjadi ammonia). Sedangkan apabila nilai pH terlalu rendah (asam), akan mengakibatkan sebagian mikroorganisme pengurai mati (Yuwono, 2006). 

Pembalikan Tumpukan Bahan 

Pembalikan pada tumpukan bahan kompos bertujuan untuk mencampur bahan baku kompos agar lebih homogen dan mencegah terjadinya penggumpalan di permukaan tumpukan bahan kompos, sehingga proses pengomposan berlangsung lebih cepat. Pembalikan sebaiknya dilakukan dengan cara pemindahan lapisan atas ke lapisan tengah, lapisan tengah ke lapisan bawah dan lapisan bawah ke lapisan atas. Maka dari itu, proses pembalikan perlu dilakukan minimal 1 minggu sekali agar campuran bahan kompos tidak mengeras (Sidabutar, 2012) 




Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.